Selasa, 04 Oktober 2011

Penciptaan (Creatio Ex Nihilo)


PENCIPTAAN
(CREATIO EX NIHILO)
Pendahuluan
Tema mengenai penciptaan merupakan tema yang sangat penting untuk dipelajari dan dimengerti bagi kalangan kristiani, sebab tidak secara kebetulan tema ini dituliskan oleh kitab-kitab dalam Alkitab, yang adalah kitab suci agama Kristen. Kitab pertama memproklamasikan “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1) dan kitab terakhir menyatakan penciptaan “langit yang baru dan bumi yang baru” (Wah 21:1)[1]. Konsep penciptaan adalah umum dipahami dan dimengerti oleh agama-agama baik dalam konteks keyakinan agama Israel bahkan jauh sebelumnya juga telah meliputi agama-agama di sekitar Timur Tengah Kuno[2]. Namun yang sangat disayangkan adalah bahwa tema yang sangat penting ini kurang mendapat perhatian untuk dikhotbahkan, didiskusikan ataupun diajarkan.
Tradisi penciptaan seperti dikemukakan para ahli yang menempatkan Kejadian pasal 1 sebagai bersumber dari tradisi imam (Priest atau P), sementara Kejadian pasal 2 dari tradisi Yahwist (Y). Kedua sumber tradisi ini telah menjadi perdebatan dan mengemuka. Banyak para ahli modern yang menolak Musa sebagai penulis kitab Kejadian, dan menyebut bahwa Pentateukh ditulis dengan berbagai sumber yaitu Yahwist, Elohis, Priest dan Deuteronomist. Meskipun demikian, masih banyak teolog dan gereja yang tetap mengikuti pendekatan tradisional yang menempatkan kitab ini sebagai karya Musa dan penciptaan tidak diletakkan atas dasar sastra yang melahirkan tradisi Y dan P, melainkan pengakuan iman Israel[3].
Riwayat penciptaan merupakan suatu komposisi sastra yang tersusun dengan sangat baik. Dengan menggunakan kerangka formula-formula (seperti “jadilah demikian” dan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”), kisah ini mengetengahkan Allah sebagai oknum yang mendapatkan apa yang “belum berbentuk dan kosong” dan kemudian membentuk dan memenuhinya. Tiga hari pertama digunakan untuk pekerjaan pembentukan, sementara pada tiga hari berikutnya Allah memenuhi apa yang sudah dubentukNya. Fokus komposisi ini ialah bahwa segala sesuatu dibentuk dan dipenuhi sehingga cocok sekali untuk didiami oleh manusia[4].
Istilah “Creatio Ex Nihilo” merupakan istilah yang diambil dari bahasan Latin. Para peneliti Alkitab biasanya menyatakan keyakinan mereka bahwa Allah tidak memakai bahan yang telah ada sebelumnya untuk menciptakan dunia. Mengenai pendapat ini, terdapat dukungan yang kuat , meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara gamblang dalam Perjanjian Lama. Dalam Kejadian 1:1, dalam bahasa Ibrani kata “menciptakan” ditulis dengan menggunakan kata ar"äB' (bara). Kata ini hanya dipakai untuk penciptaan ilahi, dan tidak pernah digunakan dengan material sebagai pelengkap penderitanya. Jadi, ciri khas penciptaan Allah ialah bahwa Ia menjadikan sesuatu yang tadinya tidak ada[5], menjadi ada. Penggunaan kata ar"äB' (bara) pada Kejadian pasal 1 bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pernyataan sejarah yang secara objektif-ilmiah (karena faktanya tidak ada satu orang pun manusia yang menyaksikan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi), melainkan ungkapan itu dimaksudkan sebagai pernyataan iman. Pernyataan iman tersebut hendak menunjukkan bahwa langit, bumi, serta segala isinya semata-mata adalah buah karya Allah[6]. Penggunaan kata ar"äB' (bara) tidak begitu saja mendukung doktrin creatio ax nihilo, tetapi yang hendak ditegaskan adalah unsur kebaruan dari tindakan Tuhan dan hanya Yang Mahakuasa saja yang dapat menghasilkan kebaruan seperti itu.Tindakan Allah dalam menciptakan ini benar-benar unik tanpa bandingan.  Karl Barth dalam bukunya “Church Dogmatics” halaman 155, menjelaskan bahwa penciptaan Ex Nihilo adalah “menyatakan hal yang hakiki mengenai mahkluk Allah itu, yaitu bahwa ia berasal dari Allah dan bukan dari sumber lain, dan bahwa ia ada karena Allah dan tidak sebaliknya. Jadi mahkluk itu bukan Allah, atau sesuatu yang terpancar dari Allah[7]. Berdasarkan kata kerja ar"äB' (bara), tujuan penekanan unsur kebaruan (yang sebelumnya tidak ada) dalam penciptaan adalah membangkitkan perasaan umat, bahwa betapa kecilnya mereka di hadapan Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Bila kejadian 1 dibaca dalam perspektif kebaruan demikian, jelaslah bahwa penciptaan yang dilakukan Allah menghasilkan perubahan yang radikal dari kekosongan yang tak berbentuk menjadi berisi, tertata rapi, dan siap dihuni manusia.
Tetepi ironisnya, ternyata pokok-pokok mengenai penciptaan ini tidak selalu dianggap sebagai bahan yang tak-dapat-tidak harus termasuk dalam pengakuan percaya umat Israel. Ada kalanya pokok kepercayaan ini tidak lagi hangat. Ada kalanya pula, bahwa justru penciptaan dunia oleh “TUHAN, Allahnya orang Israel”, itulah yang perlu diikrarkan menjadi pokok yang pertama[8]. Penekanan kepada “Israel” lah yang terkadang lebih menonjol bagi orang Israel jika dibandingkan dengan penekanan akan tema besar, yaitu mengenai penciptaan. Lebih lagi, dyrness dalam teologi Perjanjian Lama-nya memang mengusulkan prioritas penciptaan terhadap penebusan, tetapi ia tidak menutup kemungkinan bahwa umat Israel mengalami Allah sebagai penebus lebih dulu. Demikianlah karya penciptaan dianggap kurang penting dibandingkan dengan karya penebusan dan cenderung hanya menjadi pelengkap saja.
Kosmonogi modern juga mempengaruhi pandangan orang terhadap tema besar, yaitu tentang penciptaan. Tokoh-tokoh sains memberikan penjelasan tentang dunia dan asal-usulnya secara ilmiah dan ini berbeda dari yang selama itu diajarkan oleh gereja. Penjelasan sains ini semakin populer dan puncaknya adalah Zaman pencerahan yang mengagungkan ilmu pengetahuan alam. Pada abad ke-19, yaitu ketika teologi berinteraksi dengan sains modern, Schleiermacher dan Harnack mengembangkan sebuah teologi yang antroposentris, hal ini mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan sebagai Pencipta tidak lagi menarik untuk dibahas. Penciptaan dilihat sebagai peristiwa yang sudah lewat dan tak relevan lagi dengan kehidupan yang sekarang, dan yang paling penting sekarang adalah keselamatan individual[9].
            Para penulis alkitab memberikan kesaksian mereka yang menegaskan bahwa sesungguhnya memang Allah adalah Pencipta. Seperti yang dinyatakan oleh Yesaya : Beginilah firman Allah, TUHAN, yang menciptakan (ar'B'= bara) langit dan membentangkannya, yang menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberikan nafas kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di atasnya. Kesaksian Israel tentang Allah sebagai pencipta berkenaan dengan kekuasaan Allah yang paling pokok untuk melakukan sesuatu yang sama sekali baru (novum), yang mustahil terjadi atas dasar yang lain. Dalam kesaksian ini, menurut maksud dan tindakan Allah, dunia ini adalah tempat yang ramah dan layak didiami, oleh karena kehendak dan kemampuan Allah untuk memulai dan melestarikan kehidupan.
            Dalam doskologi ini, seperti banyak penegasan dalam kitab Yesaya dari masa pembuangan, kata kerja yang utama adalah ar'B'= bara, istilah yang paling agung untuk tindakan Allah sebagai Pencipta, satu kata kerja yang tidak dipakai untuk subjek manapun kecuali untuk Allah Israel. Allah Israel-lah yang menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada, yang memanggil, memerintah, memelihara, dan mengatur segenap realitas. Allah membuat ada/menciptakan dengan firmanNya. Gambaran ini ialah tentang seorang yang berdaulat  penuh kuasa yang mengucapkan titah dari takhtaNya, dan hanya dengan firman itu sesuatu terjadi[10]. Disini tampak sangat jelas bahwa Allah memiliki kedaulatan yang tidak ada bandingannya, dimana hanya dengan menggunakan firmanNya saja Ia dapat menjadikan segala sesuatu.
            Dyrness, dalam bukunya “tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama” menuliskan ada beberapa sifat dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah, yaitu bahwa penciptaan itu baik adanya. Allahlah yang pertama-tama menikmati keindahan penciptaan, sewaktu Ia menyatakannya; sungguh amat baik (Kej 1:31). Gagasan ini terdapat juga dalam Yeh 28:11-15, di mana secara tidak lagsung disebutkan kesempurnaan ciptaan yang mula-mula. Akan kita lihat bahwa kejatuhan menodai kesempurnaan itu; tetapi meski pengaruh dosa tidak tanggung-tanggung, ia tidaklah menyeluruh. Peristiwa itu tidak mengubah kebaikan hakiki dari ciptaan. Selain dikatakan baik, ciptaan juga diperintahkan khusus untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah direncanakan oleh Allah. Meski ciptaan tersebut mempunyai sifat-sifatnya sendiri, Allah berniat agar tujuanNya tercapai di dalamnya, yaitu untuk menyatakan kemuliaanNya (Yes 6:3; Mazmur 19). Akhirnya, meski tujuan akhir penciptaan adalah kemuliaan Allah, tetapi tujuannya yang segera adalah bagi manusia. Mengapa Allah mencipta?Edmond Jacob menjawab dari Perjanjian Lama, “Ia telah menciptakannya (dunia) bagi perjanjian, artinya karena rencana kasih dan penyelamatan bagi manusia melalui Israel”[11].
            Sesungguhnya penciptaan dalam Alkitab dan dalam doktrin Kristen klasik tidak hanya berbicara tentang asal mula dunia dari tidak ada sesuatu (creatio ex nihilo), tetapi juga pemeliharaan Tuhan. Dunia ciptaan tidak pernah eksis dari dirinya sendiri, tetapi selalu bergantung kepada Penciptanya. Sekalipun dikatakan Tuhan berhenti pada hari ke-tujuh dan tidak menciptakan sesuatu, Ia tidak lepas tangan dari dunia ciptaanNya. Selanjutnya, Tuhan tetaplah berkarya, tidak seperti dalam Kejadian 1, tetapi sekarang melalui proses-proses kehidupan yang dijadikanNya. Dengan demikian kelangsungan eksistensi dunia ciptaan terpelihara. Manusia sampai sekarang tetap bisa dikatakan sebagai ciptaan Tuhan, bukan diciptakan dari tidak ada menjadi menjadi ada, melainkan dari kehidupan yang ditanamkan dalam benih-benih kehidupan.
            Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan pada awalnya, tetapi terus berlangsung dalam tegaknya dunia (mazmur 93:1). Hubungan kebergantungan ini tidak bersifat narsisistik sebab dunia dijadikan bukan demi kesenangan Tuhan, melainkan agar di dunia tumbuh keselamatan dan keadilan (Yes 45:8). Konsekuensi dari dunia ciptaan yang baik dan diberkati adalah keselamatan dan keadilan itu masih dalam bentuk potensi yang harus diaktualisasikan. Kemajuan peradaban dan teknologi dimungkinkan karena dunia berkembang dalam batas-batas potensi yang ada ini. Potensi-potensi baik tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada Sang Pencipta dan dengan cara inilah Ia menopang kelangsungan dunia. Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra. Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan-Nya atas dunia dengan jalan meneruskan penciptaan dalam kapasitasnya sebagai “ko-pencipta”[12].  Artinya dalam hal ini, Allah tidak meninggalkan begitu saja ciptaanNya yang telah Ia ciptakan, tetapi dalam menjalani kehidupannya, Allah tetap menyertai ciptaanNya sehingga ciptaan Allah itu dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari.








DAFTAR PUSTAKA

Barth, Christoper. 1991. Theologia Perjanjian Lama I, Jakarta (BPK Gunung Mulia)
Brueggemann, Walter. 2009. Teologi Perjanjian Lama (Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan), Maumere ( Ledalero)
Dryness, William. 1990. Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang (Gandum Mas)
Hill, Andrew & John H. Walton. 1996. Survey Perjanjian Lama, Malang (Gandum Mas)
Karman, Yongky. 2009. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta (BPK Gunung Mulia)
Krisna, Gernaida. 2010. Matheo (Jurnal Teologi/Kependetaan), Jakarta (STT Bethel Indonesia)



[1] Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), 18
[2] Gernaida Krisna, Matheo Jurnal Teologi/Kependetaan, (Jakarta : STT Bethel Indonesia, 2010), 1
[3] Ibid, 1
[4] Andrew E Hill, Survei Perjanjian Lama, (Malang : Gandum Mas2001), 150
[5] William Dryness, Tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama, (Malang : Gandum Mas, 1990), 49
[6] Op.Cit, Gernaida Krisna, 1-2
[7] Op.Cit, William Dryness, 50
[8] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama I, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991), 27
[9] Ibid, hlm 20
[10] Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama (Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan), (Maumere : Ledalero, 2009), 224-225
[11] Op. Cit, Dryness, 51-52
[12] Op. Cit, Yongky Karman, 34-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar