Rabu, 19 Oktober 2011

CREATIO EX NIHILO

PENCIPTAAN
(CREATIO EX NIHILO)
Pendahuluan
Tema mengenai penciptaan merupakan tema yang sangat penting untuk dipelajari dan dimengerti bagi kalangan kristiani, sebab tidak secara kebetulan tema ini dituliskan oleh kitab-kitab dalam Alkitab, yang adalah kitab suci agama Kristen. Kitab pertama memproklamasikan “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1) dan kitab terakhir menyatakan penciptaan “langit yang baru dan bumi yang baru” (Wah 21:1)[1]. Konsep penciptaan adalah umum dipahami dan dimengerti oleh agama-agama baik dalam konteks keyakinan agama Israel bahkan jauh sebelumnya juga telah meliputi agama-agama di sekitar Timur Tengah Kuno[2]. Namun yang sangat disayangkan adalah bahwa tema yang sangat penting ini kurang mendapat perhatian untuk dikhotbahkan, didiskusikan ataupun diajarkan.
Tradisi penciptaan seperti dikemukakan para ahli yang menempatkan Kejadian pasal 1 sebagai bersumber dari tradisi imam (Priest atau P), sementara Kejadian pasal 2 dari tradisi Yahwist (Y). Kedua sumber tradisi ini telah menjadi perdebatan dan mengemuka. Banyak para ahli modern yang menolak Musa sebagai penulis kitab Kejadian, dan menyebut bahwa Pentateukh ditulis dengan berbagai sumber yaitu Yahwist, Elohis, Priest dan Deuteronomist. Meskipun demikian, masih banyak teolog dan gereja yang tetap mengikuti pendekatan tradisional yang menempatkan kitab ini sebagai karya Musa dan penciptaan tidak diletakkan atas dasar sastra yang melahirkan tradisi Y dan P, melainkan pengakuan iman Israel[3].
Kisah mengenai penciptaan tidak hanya dicatat dalam kitab Kejadian, tetapi beberapa kitab dalam Perjanjian Lama pun turut mendukung pengajaran tentang penciptaan, antara lain dalam Kejadian 1-2, Mazmur, Yesaya 40-55, Amsal, Ayub, Amos, Yesaya, II Raja-raja, dan Yeremia pun menuliskan tema tentang penciptaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa tema mengenai “Penciptaan” bukanlah tema yang hanya menjadi sebuah mitos atau kepercayaan belaka, tetapi dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tema “Penciptaan” merupakan sebuah pengakuan yang sah dalam Perjanjian Lama.

Penciptaan langit dan bumi
Beberapa hal pokok terkait dengan Allah menciptakan langit dan bumi antara lain :
a.       Segala bangsa kuno mengenal Allah tertinggi sebagai Khalik alam semesta.
Umat Israel mengklaim bahwa Tuhan yang telah menciptakan alam semesta ini adalah Allah yang telah membebaskan mereka dari tanah perbudakan, yaitu Mesir. Hal tersebut dapat dilihat dari kesepuluh firman yang menjadi tuntunan hidup bangsa Israel, dimana kesepuluh firman tersebut memfokuskan penyembahan hanya kepada TUHAN, dan bukan dewa-dewi bangsa lain. Selain itu, Allah bukanlah Allah orang Israel dan gereja saja, tetapi seluruh alam semesta. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Allah harus menjadi berkat bagi segala kaum di muka bumi, sehingga segala kaum di muka bumi pun mengalami pemeliharaan Allah dengan merasakan damai sejahtera yang dibawa oleh umat Allah. Dari beberapa hal yang tela disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa iman Israel menolak pandangan kepercayaan di luar Israel yang menyembah dewa-dewa, seperti dewa matahari, dewa pohon, dsb. sebab Allah Israel-lah yang menciptakan semua benda-benda yang dianggap menjadi dewa oleh kepercayaan di luar Israel.
b.      Allah menciptakan langit dan bumi secara sempurna.
Hanya ada satu kata Ibrani yang digunakan untuk menyatakan pekerjaan ilahi yang tidak dapat dilakukan selain oleh Allah, yaitu kata kerja ar"äB' (bara). Kata ini digunakan untuk menunjukkan penciptaan yang benar-benar baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang kreatif hanya dapat dilakukan oleh Allah. Dyrness, dalam bukunya “tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama” menuliskan ada beberapa sifat dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah, salah satunya bahwa penciptaan itu baik adanya. Allahlah yang pertama-tama menikmati keindahan penciptaan, sewaktu Ia menyatakannya; sungguh amat baik (Kej 1:31). Gagasan ini terdapat juga dalam Yeh 28:11-15, di mana secara tidak lagsung disebutkan kesempurnaan ciptaan yang mula-mula. Akan kita lihat bahwa kejatuhan menodai kesempurnaan itu; tetapi meski pengaruh dosa tidak tanggung-tanggung, ia tidaklah menyeluruh. Peristiwa itu tidak mengubah kebaikan hakiki dari ciptaan.

c.       Allah mengatasi kuasa-kuasa kegelapan dan kekacauan.
Dalam kitab kejadian dituliskan bahwa pada mulannya bumi (yang) belum berbentuk dan kosong, gelap gulita (yang) menutupi samudera raya dapat ditaklukkan oleh Allah. Hal ini menunjukkan keMahaKuasaan Allah yang dapat mengatasi kuasa kegelapan dan kekacauan.
d.      Allah menciptakan dengan perantaraan Firman, Roh, dan Hikmat.
Menurut kesaksian dalam Perjanjian Lama, dituliskan bahwa Allah menciptakan dengan perantaraan Firman yang berotoritas. Ciptaan yang dijadikan lewat Firman-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, hal ini terlihat dari ungkapan bahwa “Allah melihat semuanya itu baik”. Selain Firman, Roh Allah juga berperan dalam memberi kehidupan. Dinyatakan bahwa ketika bumi belum berbentuk dan kosong, Roh Allah melayang-layang di permukaan air (kej 1:2b). Roh inilah yang kemudian memberikan hidup kepada segala mahkluk (mzm 104:29-30; Kej 2:7). Selain lewat Firman dan Roh, Allah juga menciptakan dengan Hikmat. Sesudah pembuangan, hikmat memainkan peranan yang besar. Hikmat Allah memampukan pemimpin pemerintah, yang membina orang di jalan yang  baik. Ia juga menjadi pengantara penciptaan (Amsal 8:22-23, 30, 32, 35).
Penciptaan manusia
            Selain menciptakan langit dan bumi yang telah dibahas, yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa puncak penciptaan adalah manusia. Dan Christoper Barth, dalam bukunya “Teologi Perjanjian Lama I” menuliskan beberapa pokok yang penting, antara lain :
a.       Manusia dijadikan sebagai tubuh berjiwa dan jiwa bertubuh yang terarah oleh keputusan hatinya.
Perjanjian Lama mencatat bahwa manusia diciptakan dari debu tanah. Tetapi yang perlu disadari ialah bahwa tubuh manusia yang terdiri dari tulang, daging, dan dibalut oleh kulit (Ayub 10:8) memiliki sifat yang sama dengan barang yang fana, yaitu lemah. Namun sekalipun lemah dan fana, Roh Allah tinggal dalam tubuh itu untuk waktu yang ditentukan-Nya (Kej 6:3). Inilah yang telah dikatakan tadi di atas, bahwa Roh Allah yang membuat manusia dapat hidup.
b.      Manusia dijadikan menurut gambar Allah dan diberikan kuasa untuk memelihara dunia.
Allah menjadikan manusia menurut gambarNya untuk memungkinkan hubungan timbal balik antara Dia dan mereka. Selama berabad-abad, umat Kristen merenungkan kalimat dalam Kejadian 1, dan mempertimbangkannya ke empat arah utama, yaitu :
i)                    Kata Ibrani tselem menekankan kemiripan dan dipakai untuk anak yang serupa dengan bapaknya (Kej 5:3) dan patung yang menyerupai pembesar.
ii)                  Di antara para mahkluk, hanya manusia yang berbicara, berpikir, mengingat, merencanakan, menghasilkan kesenian. Dalam hal inilah ia dikatakan serupa dengan Allah.
iii)                Dalam budaya mesir dan Babel, raja disamakan dengan gambar ilah. Sebagai wakil Allah, manusia berkuasa atas mahkluk lain.
iv)                Cerita mengenai penciptaan membicarakan bahwa manusia adlah karya ciptaan Allah. Itu sebabnya manusia diciptakan untuk berhubungan dengan Allah dan sesama.
v)                  Dalam budaya timur, gambar dan rupa memiliki arti yang berbeda. “gambar” dikaruniakan kepada setiap orang ketika ia lahir dan tak dapat hilang, sedangkan “rupa” baru berkembang dalam hubungan dengan Allah.
Martabat manusia terletak pada gambar Allah yang ada dalam dirinya. Hal ini membuat seseorang tidak akan dianggap telah kehilangan gambar Allah, sekalipun ia memiliki cacat tubuh, cacat mental, atau tindakan keji yang telah dilakukannya. Pemazmur menuliskan bahwa manusia kecil di hadapan Allah, namun telah diangkat Tuhan untuk menjadi “hampir seperti Allah” (mzm 8:4-9)
c.       Manusia dijadikan sebagai laki-laki dan perempuan.
Dalam kitab Kejadian, Allah memiliki inisiatif untuk menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan, tidak ada manusia selain jenis maskulin dan feminim. Keduanya memiliki derajat yang sama, sebab Allah menjadikan wanita (hawa) sebagai “penolong yang sepadan”, sehingga laki-laki dan perempuan tidak dibatasi oleh hirarki dimana menempatkan laki-laki lebih berkuasa atas wanita.
d.      Manusia bertindak atas pilihannya sendiri.
Pada mulanya Allah telah memberikan perintah kepada manusia untuk ditaati, yaitu larangan untuk memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Tetapi karena bujukan ular yang ada di taman Eden, manusia lebih memilih untuk melanggar perintah Allah dengan bertindak atas pilihannya sendiri. Akibatnya manusia jatuh ke dalam dosa, dan menerima hukuman atas ketidaktaatan kepada Allah.
Riwayat penciptaan merupakan suatu komposisi sastra yang tersusun dengan sangat baik. Dengan menggunakan kerangka formula-formula (seperti “jadilah demikian” dan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”), kisah ini mengetengahkan Allah sebagai oknum yang mendapatkan apa yang “belum berbentuk dan kosong” dan kemudian membentuk dan memenuhinya. Tiga hari pertama digunakan untuk pekerjaan pembentukan, sementara pada tiga hari berikutnya Allah memenuhi apa yang sudah dibentukNya. Fokus komposisi ini ialah bahwa segala sesuatu dibentuk dan dipenuhi sehingga cocok sekali untuk didiami oleh manusia[4].
Istilah “Creatio Ex Nihilo” merupakan istilah yang diambil dari bahasan Latin. Para peneliti Alkitab biasanya menyatakan keyakinan mereka bahwa Allah tidak memakai bahan yang telah ada sebelumnya untuk menciptakan dunia. Mengenai pendapat ini, terdapat dukungan yang kuat , meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara gamblang dalam Perjanjian Lama. Dalam Kejadian 1:1, bahasa Ibrani yang digunakan untuk menunjukkan kata “menciptakan” ditulis dengan menggunakan kata ar"äB' (bara). Kata ini hanya dipakai untuk penciptaan ilahi, dan tidak pernah digunakan dengan material sebagai pelengkap penderitanya. Jadi, ciri khas penciptaan Allah ialah bahwa Ia menjadikan sesuatu yang tadinya tidak ada[5](belum pernah ada), menjadi ada. Penggunaan kata ar"äB' (bara) pada Kejadian pasal 1 bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pernyataan sejarah yang secara objektif-ilmiah (karena faktanya tidak ada satu orang pun manusia yang menyaksikan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi), melainkan ungkapan itu dimaksudkan sebagai pernyataan iman. Pernyataan iman tersebut hendak menunjukkan bahwa langit, bumi, serta segala isinya semata-mata adalah buah karya Allah. Penggunaan kata ar"äB' (bara) adalah penunjuk pada keMahaKuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta[6]. Penggunaan kata ar"äB' (bara) tidak begitu saja mendukung doktrin creatio ax nihilo, tetapi yang hendak ditegaskan adalah unsur kebaruan dari tindakan Tuhan dan hanya Yang Mahakuasa saja yang dapat menghasilkan kebaruan seperti itu. Tindakan Allah dalam menciptakan ini benar-benar unik tanpa bandingan.  Karl Barth dalam bukunya “Church Dogmatics” halaman 155, menjelaskan bahwa penciptaan Ex Nihilo adalah “menyatakan hal yang hakiki mengenai mahkluk Allah itu, yaitu bahwa ia berasal dari Allah dan bukan dari sumber lain, dan bahwa ia ada karena Allah dan tidak sebaliknya. Jadi mahkluk itu bukan Allah, atau sesuatu yang terpancar dari Allah[7]. Berdasarkan kata kerja ar"äB' (bara), tujuan penekanan unsur kebaruan (yang sebelumnya tidak ada) dalam penciptaan adalah membangkitkan perasaan umat, bahwa betapa kecilnya mereka di hadapan Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Bila kejadian 1 dibaca dalam perspektif kebaruan demikian, jelaslah bahwa penciptaan yang dilakukan Allah menghasilkan perubahan yang radikal dari kekosongan yang tak berbentuk menjadi berisi, tertata rapi, dan siap dihuni manusia.
Berikut ini merupakan urutan penciptaan yang tertulis dalam kitab Kejadian.
Hari pertama : Terang (ayat 3-5).
            Dalam ayat ke-3, dituliskan bahwa Allah menciptakan dunia ini dengan perantaraan firmanNya. Firman Allah merupakan medium yang dengannya Allah bertindak untuk menyatakan kehendakNya. Ini juga menunjukkan bahwa firman Allah berkuasa, sebab untuk menciptakan dunia ini Allah tidak perlu bersusah payah berperang dahulu sebagaimana anggapan mitos-mitos kafir, melainkan Allah cukup dengan berfirman saja. Ungkapan “jadilah terang” perlu diurutkan dengan ayat yang mendahuluinya, sebab keadaan bumi menurut ayat 2 adalah ‘gelap gulita’. Ketiadaan terang di sini sebenarnya bukan saja merupakan simbol dari kekacaubalauan, melainkan juga merupakan simbol dari kematian. Fakta menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa hidup di dalam kegelapan, dan tidak ada juga suatu pekerjaan apapun yang dapat dikerjakan dalam kealpaan terang. Itulah sebabnya Allah menciptakan terang terlebih dahulu. Terang juga merupakan simbol dari kehidupan dan keteraturan. Dengan menciptakan terang berarti Allah memberikan kehidupan yang disertai dengan adanya tatanan dalam dunia ini.
Hari kedua     : Cakrawala (ayat 6-8)
            Pada penciptaan hari kedua dikemukakan oleh penulis bahwa Allah menciptakan cakrawala. Kata ‘cakrawala’ dapat dipahami sebagai kolong langit yang padat dan berfungsi sebagai penyangga air yang ada di atasnya. Cakrawala dimaksudkan sebagai pemisah antara air yang di atas dengan air yang di bawah. Dengan terciptanya cakrawala tersebut maka terbentuklah pula sekarang ini atmosfir bumi.
Hari ketiga     : Darat, lautan, dan tumbuh-tumbuhan (ayat 9-13)
            Pada penciptaan hari ketiga, kitab Kejadian memberikan informasi yang jelas mengenai daratan, lautan, dan tumbuh-tumbuhan. Air yang berada di bawah tadi ditata oleh Allah sedemikian rupa sehingga membentuk lautan sekaligus pula menyebabkan terbentuknya daratan. Dalam anggapan ini jelaslah bahwa bumi dan daratan sudah ada, hanya saja masih tertutup dengan air dan air itulah yang kemudian dipisahkan sehingga berkumpul di satu tempat dan tampaklah daratan dan lautan. Penjelasan selanjutnya yang diberikan kitab Kejadian adalah bahwa tanah/bumi dapat menumbuhkan sesuatu. Kata av,D<ê (dese) dapat diartikan sebagai ‘sesuatu yang hijau, menjadi hijau atau bertunas’. Tumbuh-tumbuhan tersebut tumbuh menurut segala jenisnya.
Hari keempat : Benda-benda penerang (ayat 14-19)
            Allah menciptakan benda penerang. Sekilas kalimat ini akan memunculkan pertanyaan, mengapa Allah menciptakan benda penerang bukankah sudah ada terang pada penciptaan pertama (ayat 3)? Di antara penafsir, ada yang menganggap bahwa pada penciptaan terang dalam ayat 3 itu, bumi masih dalam keadaaan kacau-balau dan masih belum tertata dengan rapi, itulah sebabnya diperlukan benda-benda penerang. Kata ~AYàh; (hayyom) adalah kata yang umum dipergunakan di Timur Tengah Kuno, kata ini menunjuk pada : hari (siang), waktu dalam pengertian siang dan malam (24 jam), menunjuk pada satu periode masa, hari-hari yang berarti minggu, bulan, dan tahun.
            Dalam keyakinan agama kafir, matahari, bulan, dan bintang dianggap sebagai dewa. Namun dengan adanya penciptaan terang maka anggapan itu sesungguhnya sudah tidak dapat lagi dipertahankan karena baik matahari, bulan, dan bintang adalah ciptaan Allah sendiri. Benda-benda penerang itu hanyalah alat bagi manusia untuk menunjuk waktu dan juga sebagai sumber energi, dll. Dengan demikian penyembahan terhadap benda-benda langit ditolak di Israel. Dengan alasan ini pula keyakinan kristen menolak astrologi yang berkenaan dengan Horoscope, dll.

Hari kelima    : Binatang laut dan burung (ayat 20-23)
            Pada hari kelima sebagaimana disaksikan oleh kitab Kejadian 1, Allah memenuhi bumi dengan mahkluk hidup, secara khusus binatang laut dan burung. Dengan penciptaan binatang laut dan burung maka konsep keyakinan kuno yang menyembah binatang juga tidak mendapat tempat dalam keyakinan Israel.


Hari keenam  : Binatang darat dan manusia (ayat 24-31)
            Dalam ayat 24-25, penulis kitab Kejadian secara jelas mengungkapkan penciptaan binatang darat. Menarik untuk melihat ungkapan ace’AT (tose) yang berarti “mengeluarkan”, “menyebabkan”. Dalam hal ini pengarang hendak menunjukkan secara jelas bahwa ada keterkaitan yang erat antara bumi, tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Dalam ayat 26-31 dikemukakan tentang penciptaan manusia pertama. Beberapa ahli berusaha memecahkan persoalan kata ‘Kita’ dalam ayat ini dengan pendekatan teologis, antara lain 1)sebuah acuan terhadap trinitas; 2) suatu peninggalan politheisme yang mula-mula; 3) bentuk jamak kekuasaan yang tertinggi; 4) bentuk jamak dan kemampuan yang berlimpah-limpah; 5) bentuk jamak pertimbangan; 6) Allah sedang berbicara kepada mahkluk sorga. Dalam penciptaan manusia, ada dua perihal yang menarik untuk dipahami, antara lain : pertama, penciptaan manusia diawali dengan suatu pernyataan “Baiklah Kita menjadikan manusia....”. kedua, manusia diciptakan menurut “gambar Allah”. Kebanyakan penafsir senderung melihat kata “Kita” sebagai bentuk jamak atau kehormatan (pluralis maistalicus), dimana Allah mengambil keputusan untuk menciptakan manusia itu di hadapan segenap bentara surgawi. Mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap ciptaan-ciptaan yang lain? Hal ini sebenarnya justru menunjukkan kedudukan manusia yang sangat istimewa dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lain.
Allah membentuk manusia dari debu tanah. Penciptaan dunia ini mencapai klimaksnya di dalam penciptaan manusia. Segala apa yang telah diciptakan Allah sebelumnya memang dimaksudkan untuk penciptaan manusia. Kemudian Alkitab bahwa manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa-Nya”. Berbagai tanggapan dikemukakan para ahli sehubungan dengan ungkapan Wnte_Wmd>Ki WnmeÞl.c;B. (betsalmenu kidmutenu). Berikut ini beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan, antara lain :
            “Gambar” ~l,c, (tselem) digunakan untuk patung dan model kerja. Secara tidak langsung dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat pencerminan sesuatu yang berkaitan dengan sifat dasar Allah. “Rupa” tWmD> (demut) digunakan untuk pola, bentuk, atau ukuran yang adalah sesuatu seperti Allah pada diri mereka.
            Kesegambaran manusia dengan Allah bukanlah kesegambaran secara fisik sebab manusia terbuat dari debu tanah, sehingga manusia bukan Allah. Kesegambaran manusia dengan Allah pertama-tama hendak menunjukkan adanya suatu hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan Allah. Di Timur Tengah Kuno adalah suatu kebiasaan utuk menempatkan gambar raja di suatu wilayah sebagai pengakuan atas kedaulatannya atas wilayah tersebut. Dengan latar belakang ini maka hendak diperlihatkan kepada kita bahwa sebagai gambar Allah manusia adalah ibarat wakil Allah yang telah ditempatkan di dalam dunia untuk menjalankan kedaulatan-Nya/kekuasaan-Nya atas seluruh ciptaan yang lain.

Hari ketujuh  : Sabat (2:1-4a)
            Ungkapan “Allah berhenti” pada hari yang ke-tujuh tidak dapat dimengerti bahwa Allah benar-benar berhenti meninggalkan apa yang telah diciptakan-Nya itu, sebab jika demikian maka seluruh ciptaan-Nya itu pasti telah binasa. Allah tetap berkarya lewat manusia sebagai kawan sekerja-Nya di bumi untuk mengelola bumi.

Tetepi ironisnya, ternyata pokok-pokok mengenai penciptaan ini tidak selalu dianggap sebagai bahan yang tak-dapat-tidak harus termasuk dalam pengakuan percaya umat Israel. Ada kalanya pokok kepercayaan ini tidak lagi hangat. Ada kalanya pula, bahwa justru penciptaan dunia oleh “TUHAN, Allahnya orang Israel”, itulah yang perlu diikrarkan menjadi pokok yang pertama[8]. Penekanan kepada “Israel” lah yang terkadang lebih menonjol bagi orang Israel jika dibandingkan dengan penekanan akan tema besar, yaitu mengenai penciptaan. Lebih lagi, dyrness dalam teologi Perjanjian Lama-nya memang mengusulkan prioritas penciptaan terhadap penebusan, tetapi ia tidak menutup kemungkinan bahwa umat Israel mengalami Allah sebagai penebus lebih dulu. Demikianlah karya penciptaan dianggap kurang penting dibandingkan dengan karya penebusan dan cenderung hanya menjadi pelengkap saja.
Kosmonogi modern juga mempengaruhi pandangan orang terhadap tema besar, yaitu tentang penciptaan. Tokoh-tokoh sains memberikan penjelasan tentang dunia dan asal-usulnya secara ilmiah dan ini berbeda dari yang selama itu diajarkan oleh gereja. Penjelasan sains ini semakin populer dan puncaknya adalah Zaman pencerahan yang mengagungkan ilmu pengetahuan alam. Pada abad ke-19, yaitu ketika teologi berinteraksi dengan sains modern, Schleiermacher dan Harnack mengembangkan sebuah teologi yang antroposentris, hal ini mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan sebagai Pencipta tidak lagi menarik untuk dibahas. Penciptaan dilihat sebagai peristiwa yang sudah lewat dan tak relevan lagi dengan kehidupan yang sekarang, dan yang paling penting sekarang adalah keselamatan individual[9].
            Para penulis alkitab memberikan kesaksian mereka yang menegaskan bahwa sesungguhnya memang Allah adalah Pencipta. Seperti yang dinyatakan oleh Yesaya : Beginilah firman Allah, TUHAN, yang menciptakan (ar'B'= bara) langit dan membentangkannya, yang menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberikan nafas kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di atasnya. Kesaksian Israel tentang Allah sebagai pencipta berkenaan dengan kekuasaan Allah yang paling pokok untuk melakukan sesuatu yang sama sekali baru (novum), yang mustahil terjadi atas dasar yang lain. Dalam kesaksian ini, menurut maksud dan tindakan Allah, dunia ini adalah tempat yang ramah dan layak didiami, oleh karena kehendak dan kemampuan Allah untuk memulai dan melestarikan kehidupan.
            Dalam doskologi ini, seperti banyak penegasan dalam kitab Yesaya dari masa pembuangan, kata kerja yang utama adalah ar'B'= bara, istilah yang paling agung untuk tindakan Allah sebagai Pencipta, satu kata kerja yang tidak dipakai untuk subjek manapun kecuali untuk Allah Israel. Allah Israel-lah yang menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada, yang memanggil, memerintah, memelihara, dan mengatur segenap realitas. Allah membuat ada/menciptakan dengan firmanNya. Gambaran ini ialah tentang seorang yang berdaulat  penuh kuasa yang mengucapkan titah dari takhtaNya, dan hanya dengan firman itu sesuatu terjadi[10]. Disini tampak sangat jelas bahwa Allah memiliki kedaulatan yang tidak ada bandingannya, dimana hanya dengan menggunakan firmanNya saja Ia dapat menjadikan segala sesuatu.
            Dyrness, dalam bukunya “tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama” menuliskan ada beberapa sifat dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah, yaitu bahwa penciptaan itu baik adanya. Allahlah yang pertama-tama menikmati keindahan penciptaan, sewaktu Ia menyatakannya; sungguh amat baik (Kej 1:31). Gagasan ini terdapat juga dalam Yeh 28:11-15, di mana secara tidak lagsung disebutkan kesempurnaan ciptaan yang mula-mula. Akan kita lihat bahwa kejatuhan menodai kesempurnaan itu; tetapi meski pengaruh dosa tidak tanggung-tanggung, ia tidaklah menyeluruh. Peristiwa itu tidak mengubah kebaikan hakiki dari ciptaan. Selain dikatakan baik, ciptaan juga diperintahkan khusus untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah direncanakan oleh Allah. Meski ciptaan tersebut mempunyai sifat-sifatnya sendiri, Allah berniat agar tujuanNya tercapai di dalamnya, yaitu untuk menyatakan kemuliaanNya (Yes 6:3; Mazmur 19). Akhirnya, meski tujuan akhir penciptaan adalah kemuliaan Allah, tetapi tujuannya yang segera adalah bagi manusia. Mengapa Allah mencipta?Edmond Jacob menjawab dari Perjanjian Lama, “Ia telah menciptakannya (dunia) bagi perjanjian, artinya karena rencana kasih dan penyelamatan bagi manusia melalui Israel”[11].
            Sesungguhnya penciptaan dalam Alkitab dan dalam doktrin Kristen klasik tidak hanya berbicara tentang asal mula dunia dari tidak ada sesuatu (creatio ex nihilo), tetapi juga pemeliharaan Tuhan. Dunia ciptaan tidak pernah eksis dari dirinya sendiri, tetapi selalu bergantung kepada Penciptanya. Sekalipun dikatakan Tuhan berhenti pada hari ke-tujuh dan tidak menciptakan sesuatu, Ia tidak lepas tangan dari dunia ciptaanNya. Selanjutnya, Tuhan tetaplah berkarya, tidak seperti dalam Kejadian 1, tetapi sekarang melalui proses-proses kehidupan yang dijadikanNya. Dengan demikian kelangsungan eksistensi dunia ciptaan terpelihara. Manusia sampai sekarang tetap bisa dikatakan sebagai ciptaan Tuhan, bukan diciptakan dari tidak ada menjadi menjadi ada, melainkan dari kehidupan yang ditanamkan dalam benih-benih kehidupan.
            Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan pada awalnya, tetapi terus berlangsung dalam tegaknya dunia (mazmur 93:1). Hubungan kebergantungan ini tidak bersifat narsisistik sebab dunia dijadikan bukan demi kesenangan Tuhan, melainkan agar di dunia tumbuh keselamatan dan keadilan (Yes 45:8). Konsekuensi dari dunia ciptaan yang baik dan diberkati adalah keselamatan dan keadilan itu masih dalam bentuk potensi yang harus diaktualisasikan. Kemajuan peradaban dan teknologi dimungkinkan karena dunia berkembang dalam batas-batas potensi yang ada ini. Potensi-potensi baik tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada Sang Pencipta dan dengan cara inilah Ia menopang kelangsungan dunia. Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra. Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan-Nya atas dunia dengan jalan meneruskan penciptaan dalam kapasitasnya sebagai “ko-pencipta”[12].  Artinya dalam hal ini, Allah tidak meninggalkan begitu saja ciptaanNya yang telah Ia ciptakan, tetapi dalam menjalani kehidupannya, Allah tetap menyertai ciptaanNya sehingga ciptaan Allah itu dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Barth, Christoph. 2008. Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta (BPK Gunung Mulia)
Brueggemann, Walter. 2009. Teologi Perjanjian Lama (Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan), Maumere ( Ledalero)
Dryness, William. 1990. Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang (Gandum Mas)
Hill, Andrew & John H. Walton. 1996. Survey Perjanjian Lama, Malang (Gandum Mas)
Karman, Yongky. 2009. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta (BPK Gunung Mulia)
Krisna, Gernaida. 2010. Matheo (Jurnal Teologi/Kependetaan), Jakarta (STT Bethel Indonesia)



[1] Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), 18
[2] Gernaida Krisna, Matheo Jurnal Teologi/Kependetaan, (Jakarta : STT Bethel Indonesia, 2010), 1
[3] Ibid, 1
[4] Andrew E Hill, Survei Perjanjian Lama, (Malang : Gandum Mas2001), 150
[5] William Dryness, Tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama, (Malang : Gandum Mas, 1990), 49
[6] Op.Cit, Gernaida Krisna, 1-2
[7] Op.Cit, William Dryness, 50
[8] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama I, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 27
[9] Ibid, hlm 20
[10] Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama (Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan), (Maumere : Ledalero, 2009), 224-225
[11] Op. Cit, Dryness, 51-52
[12] Op. Cit, Yongky Karman, 34-35 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar